TEKNOLOGI - Bayangkan skenario ini: kita, Indonesia, sudah punya segalanya. Lulusan-lulusan cerdas dari kampus-kampus terbaik macam ITB, UI, ITS, UGM; sederet SMK di berbagai kota yang sibuk melahirkan tenaga ahli. Lalu di alam kita, kekayaan melimpah ruah: tambang, hutan, lahan subur – semuanya ada. Logikanya, kita tinggal gas, dong, buat bikin barang-barang keren ala Jepang atau Korea? Bikin mobil, motor, komputer, atau bahkan pesawat buatan Indonesia? Nyatanya, mimpi itu masih jauh. Kita masih lebih sering jadi pasar ketimbang produsen. Kenapa begitu?
Sebelum mulai banyak protes, kita lihat contoh nyata dari para tetangga Asia yang sudah duluan bikin kita ngiler. Negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan memulai langkah mereka dengan trik yang mungkin sederhana, tapi jenius: ATM, alias "Amati, Tiru, Modifikasi". Mereka ngelihat teknologi negara maju, meniru cara bikin produknya, lalu memodifikasi sesuai kebutuhan. Mirip resep masakan, nih, kalau bahan di resep asli susah dicari, ya, tinggal diganti yang ada di dapur. Simpel, kan?
Baca juga:
Manfaat Business Intelligence di Era Digital
|
Jepang dan Korea itu nggak langsung bikin mobil atau ponsel mahal. Mereka pertama-tama belajar, meniru, dan setelah cukup jago, baru deh mereka bikin produk khas mereka sendiri. Kalau Jepang bisa meracik mobil yang irit dan canggih, Korea bisa bikin ponsel top yang laris sedunia, Indonesia tentu bisa banget, kan? Kita nggak kekurangan SDM cerdas atau bahan baku. Masalahnya, “bahan bakar” untuk jalan terus belum cukup kuat.
Tantangan terbesar pertama: kita kebanyakan impor! Banyak banget industri dalam negeri yang tergantung komponen dari luar negeri. Nggak heran, ini bikin biaya produksi jadi mahal dan barang jadi lama jadi. Masalah kedua? Duit riset kita tipis banget! Lulusan-lulusan pintar ini bukannya kurang ide, tapi kurang biaya untuk eksperimen dan riset. Lihat aja Korea, mereka berani habisin anggaran buat inovasi, hasilnya? Luar biasa. Masalah ketiga? Peraturan pemerintah yang kayak suasana hati – gampang berubah! Pelaku industri bingung, kalau hari ini dikasih insentif, siapa yang bisa jamin tahun depan insentifnya nggak dicabut?
Padahal kalau ATM ini diterapkan serius, kita punya banyak peluang, lho! Contohnya, kalau di sektor otomotif, kita bisa belajar dari Jepang soal mobil yang irit dan cocok buat masyarakat luas. Lalu, dengan kolaborasi antara kampus, industri, dan pemerintah, kita bisa lah bikin mobil murah buatan Indonesia. Nggak usah terlalu mewah dulu, yang penting bisa jalan!
Nah, kalau kita mau maju, ada beberapa langkah praktis yang bisa diambil. Pertama, tambah anggaran untuk riset. Kalau lulusan pintar dari ITB atau UI mau riset, mereka punya biaya dan dukungan buat uji coba. Kedua, bikin kolaborasi yang serius antara kampus sama industri, biar ilmu kampus nggak sekadar teori tapi jadi produk nyata. Ketiga, pemerintah kudu konsisten dengan aturan yang bisa melindungi produk lokal. Keempat, tentu saja ATM. Nggak cuma amati dan tiru, tapi modifikasi sesuai pasar Indonesia. Misalnya, energi terbarukan dari panas bumi dan surya bisa banget dimaksimalkan buat energi murah di daerah-daerah yang selama ini langganan mati listrik.
Intinya, kalau Jepang, Korea, dan Cina bisa dengan ATM, masa Indonesia yang sudah punya segalanya nggak bisa? Sebenarnya, kita sudah punya modal. Yang dibutuhkan adalah keberanian, konsistensi, dan dukungan dari semua pihak. Bukan cuma jadi pasar, tapi jadi produsen – Indonesia bisa, asal serius. Karena kalau kita cuma menonton tetangga sukses, sementara kita sendiri cuma jadi pembeli, sampai kapan kita mau jadi penonton?
Jakarta, 27 Oktober 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi
Baca juga:
TOGAF 9 Executive Overview
|