PENDIDIKAN - Pendidikan tinggi adalah investasi bagi masa depan bangsa. Di Indonesia, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) seharusnya menjadi institusi yang menjamin akses pendidikan tinggi bagi semua anak bangsa tanpa hambatan finansial.
Gedung kampus adalah aset negara, dosen sebagian besar merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang digaji oleh pemerintah, dan biaya operasional kampus pun didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, paradoks terjadi: Uang Kuliah Tunggal (UKT) justru semakin mahal, membebani mahasiswa dan keluarganya. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi?
PTN: Milik Publik, Bukan Bisnis
PTN didirikan untuk memberikan layanan pendidikan bagi rakyat. Gedung dan fasilitas kampus dibangun menggunakan dana negara, yang notabene berasal dari pajak rakyat. Dosen yang mengajar di PTN banyak yang berstatus ASN, menerima gaji dari kas negara. Dengan demikian, logikanya, biaya operasional PTN sudah semestinya tertutupi oleh anggaran pemerintah, sehingga mahasiswa tidak perlu membayar mahal untuk menempuh pendidikan.
Namun, dalam praktiknya, pendidikan tinggi di PTN tidak sepenuhnya gratis. UKT yang awalnya ditujukan untuk membebankan biaya pendidikan sesuai dengan kemampuan ekonomi mahasiswa, justru terus meningkat. Bahkan, di beberapa PTN, biaya kuliah hampir menyamai Perguruan Tinggi Swasta (PTS) elite. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: jika semua fasilitas dan tenaga pengajar dibiayai oleh negara, mengapa mahasiswa masih harus menanggung UKT yang semakin tinggi?
Baca juga:
Ozkan, sahabat dari Istanbul
|
Komersialisasi Pendidikan Tinggi
Salah satu faktor utama meningkatnya UKT adalah komersialisasi pendidikan tinggi. PTN, yang seharusnya berfungsi sebagai lembaga pendidikan publik, kini cenderung beroperasi seperti badan usaha. Dengan status sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH), banyak universitas mulai mencari pemasukan dari sumber lain, termasuk mahasiswa.
PTN yang berstatus PTN-BH diberikan otonomi untuk mengelola keuangan mereka sendiri, termasuk dalam menentukan besaran UKT. Akibatnya, UKT cenderung naik dari tahun ke tahun karena universitas ingin menutupi berbagai kebutuhan mereka yang semakin besar.
Lebih jauh, banyak PTN kini berlomba-lomba membangun fasilitas mewah dan memperluas kampus. Laboratorium canggih, pusat penelitian, gedung bertingkat, hingga program internasional dikembangkan untuk meningkatkan daya saing global. Tetapi, sayangnya, biaya untuk membangun dan mengembangkan fasilitas tersebut sebagian besar dibebankan kepada mahasiswa melalui kenaikan UKT.
Pemangkasan Anggaran Pendidikan
Meskipun negara mengalokasikan dana pendidikan sebesar 20?ri APBN, dalam realisasinya, alokasi untuk perguruan tinggi masih jauh dari cukup. Banyak universitas negeri masih mengandalkan UKT sebagai sumber utama pemasukan mereka. Hal ini diperparah dengan adanya pemangkasan anggaran pendidikan di beberapa sektor, termasuk pendidikan tinggi.
Kampus yang dulunya mengandalkan dana pemerintah kini terpaksa mencari pendapatan dari mahasiswa dan sumber eksternal lainnya, seperti kerja sama industri atau penelitian berbayar.
Dampaknya, mahasiswa yang berasal dari keluarga ekonomi menengah ke bawah semakin kesulitan untuk membayar UKT. Beberapa dari mereka terpaksa berhutang, bekerja sambil kuliah, atau bahkan harus putus kuliah karena tidak sanggup membayar biaya pendidikan.
Baca juga:
Pengertian Blog, Struktur Umum dan Jenisnya
|
Solusi: Pendidikan Tinggi Gratis untuk Semua
Jika PTN memang didirikan untuk kepentingan publik, maka sudah seharusnya pendidikan tinggi bisa diakses secara gratis atau setidaknya dengan biaya yang sangat rendah. Beberapa langkah yang bisa diambil untuk mewujudkan pendidikan tinggi gratis antara lain:
1. Meningkatkan Subsidi Pemerintah: Pemerintah harus memperbesar alokasi dana untuk perguruan tinggi, memastikan bahwa PTN tidak perlu mengandalkan UKT yang mahal sebagai sumber utama pemasukan mereka.
2. Reformasi Kebijakan PTN-BH: Kebijakan otonomi kampus yang diberikan kepada PTN-BH perlu dievaluasi agar tidak mengarah pada komersialisasi pendidikan. PTN harus tetap berorientasi pada pelayanan publik, bukan mencari keuntungan.
3. Pengelolaan Keuangan yang Transparan: Kampus perlu lebih transparan dalam mengelola anggaran mereka. Jika memang ada kenaikan UKT, harus dijelaskan secara rinci ke mana dana tersebut dialokasikan.
4. Penguatan Skema Beasiswa: Pemerintah dan sektor swasta dapat bekerja sama dalam menyediakan lebih banyak beasiswa bagi mahasiswa kurang mampu, sehingga mereka tidak terbebani oleh biaya pendidikan yang tinggi.
5. Optimalisasi Pemanfaatan Sumber Daya: PTN harus memanfaatkan sumber daya yang ada secara lebih efisien, sehingga tidak bergantung pada mahasiswa sebagai sumber pendapatan utama.
Kesimpulan
Pendidikan tinggi bukanlah barang mewah yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mampu membayar. PTN seharusnya menjadi institusi yang benar-benar melayani rakyat, bukan lembaga bisnis yang terus-menerus menaikkan UKT.
Dengan gedung yang dimiliki oleh pemerintah, dosen yang bergaji dari negara, dan adanya anggaran operasional dari APBN, seharusnya PTN bisa gratis atau setidaknya jauh lebih terjangkau.
Kini saatnya pemerintah dan masyarakat menuntut pendidikan tinggi yang benar-benar inklusif dan dapat diakses oleh semua anak bangsa tanpa terkendala biaya.
Jakarta, 20 Februari 2025
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi