JAKARTA - Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Mercy Chriesty Barends mengungkapkan pihaknya setuju dengan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berasal dari Badan Layanan Umum (BLU ) di sektor pendidikan. Namun demikian tetap harus ada rambu-rambu atau aturan main, sehingga tidak merugikan masyarakat.
“Saya setuju dengan PNBP yang berasal dari BLU di sektor Pendidikan karena dikatakan disini dengan mengedepankan prinsip fleksibel, inovatif, efisiensi dan produktif. Namun tetap harus ada rambu-rambu dan aturan main, sehingga tidak merugikan masyarakat, ” ujar Mercy saat Rapat Panja Asumsi Dasar, Kebijakan Fiskal, Pendapatan, Defisit dan Pembiayaan dalam RUU APBN 2023, di ruang rapat Banggar, Senayan, Jakarta, Rabu (7/9/2022).
Ada beberapa catatan yang diungkapkan oleh Politisi dari PDI Perjuangan ini dari skema BLU yang selama ini berlangsug di sektor pendidikan. Melihat dari kasus di salah satu Universitas di Lampung, dimana saat ini (dengan adanya skema BLU) di kampus-kampus mulai marak menarik anggaran sebesar-besarnya karena prinsip fleksibilitas tadi. Tapi yang terjadi (dana-red) tadi masuk dua kantong, satu kantong lembaga, dan satu kantong pribadi.
“Jadi prinsip fleksibilitas ini mungkin juga ada barometernya, juga ada rambu-rambunya. Karena ketika bicara tentang fleksibilitas kemudian terminologi ini bisa dimaknai dengan pendekatan yang berbeda-beda antara satu PTN (Perguruan Tinggi Negeri) dengan PTN yang lain dalam menerapkan aturan main untuk menarik anggaran berdasarkan layanan-layanan yang disediakan, ” ungkapnya.
Catatan yang kedua, lanjut Mercy, berkaitan dengan akuntabilitas dan pengawasan seperti yang dipaparkan oleh Kementerian Keuangan. Tepatnya sampai sejauh mana implementasi yang berkaitan dengan akuntabilitas dan pengawasan terhadap BLU. Karena sejatinya merupakan perguruan tinggi negeri ini dibiayai oleh pemerintah, namun dengan BLU mereka bisa membiayai diri mereka sendiri, sehingga yang dikhawatirkan lama-lama mereka bisa beraktivitas seperti perguruan tinggi swasta, menarik sebanyak-banyaknya mahasiswa karena mendatangkan anggaran.
Baca juga:
Ozkan, sahabat dari Istanbul
|
“Salah satu contoh, Fakultas Hukum di Undip. Karena menggunakan skema BLU menerima mahasuswa sampai 900 mahasiswa untuk satu semester (satu angkatan-red). Lalu apa yang terjadi? Yang tadinya cuman 5-6 kelas, maka bisa menjadi 20 kelas saat ini. Dan yang dikejar disini terlihat income yang sebesar-besarnya. Lantas bagaimana dengan akuntabilitas untuk layanannya, tenaga SDM dan seterusnya, ” tambah Mercy.
Dan catatan ketiga yang diungkapkan Mercy adalah terkait serapan mahasiswa yang masuk ke kampus-kampus yang berbasis BLU, rata-rata semua kampus besar dan sejatinya bisa mendapat Beasiswa. Namun dulu (saat Kemendikti) masih ada di komisi VII DPR RI, ada sejumlah Beasiswa Pendidikan Indoonesia (BPI) dan lain-lain ditolak oleh kampus-kampus besar tersebut.
Hal tersebut disebabkan uang semester di kampus tersebut yang cukup besar, dan mereka tidak mau lagi menerima mahasiswa-mahasiswa yang dari kampung-kampung. Karena dianggap uang semesternya sudah tidak sejalan dengan apa yang mereka tetapkan untuk kepentingan penguatan BLU tadi. Padahal BLU, terutama di sektor pendidikan dan kesehatan, ini hadir tidak untuk mendeskriminasi masyarakat kecil.
“Jadi pada prinsipnya kami mendukung BLU di sektor pendidikan tetapi mestinya ada rambu-rambu dan aturan main juga, sehingga tidak merugikan kepentingan masyarakat, dan tidak mendeskriminasi masyarakat kecil, ” pungkasnya. (ayu/aha)