JAKARTA - Demokrasi Indonesia tampaknya tengah menghadapi masalah besar, masa sulit, mendekati Pemilu 2024. Sejumlah elit politik, paling tidak yang sudah mengemuka, tiga ketua Parpol sudah merongrong demokrasi kita namun belum dapat sanksi.
Mereka, Ketum Partai Golkar, Airlangga Hartarto, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, dan Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar. Ketiganya telah memantik kegaduhan karena berwacana untuk memperpanjang masa jabatan Presiden dan penundaan Pemilu 2024 di tengah masyarakat. Dua hal itu sensitif diwacanakan karena merupakan roh UUD 1945.
Seperti sudah ditulis sebelumnya, kita sesalkan itu karena ketiganya adalah "orang dalam" Presiden Jokowi. Ketiganya secara institusional, sebagai pimpinan parpol koalisi pendukung Jokowi.
Wajar muncul desakan Presiden Jokowi segera bicara lagi menegaskan sikapnya soal wacana itu.
Sekurang-kurangnya, menegur ketiga pimpinan parpol dimaksud. Kita memang tahu, Presiden Jokowi sudah berkali - kali menyatakan tidak punya niat dan berminat untuk lanjut menjadi Presiden RI tiga priode.
Alasannya jelas karena faktor konstitusi yang melarang. Atas pertimbangan konstitusional itu Presiden pun pernah berkata, pihak yang berwacana presiden tiga priode "kalau tidak mau mengambil muka, pasti mau menjerusmuskan saya."
Baca juga:
Tony Rosyid: Anies untuk Semua
|
Penegasan Jokowi sekali lagi penting untuk "membungkan" netizen yang hari-hari ini kembali memviralkan pernyataan Jokowi tempo hari sebelum menjadi Presiden RI. Yang sewaktu ditanya, menjawab "tak pernah mikir mau jadi presiden".
Kita juga teringat ucapan Presiden Jokowi yang pernah mengancam jika ada pihak (pembantunya) yang main - main dengan peraturan perundang-undangan terutama dalam hal korupsi, " saya akan gigit sendiri".
Fakta yang tersaji kini, sebenarnya sudah cukup menjadikan "tiga sekawan" itu sasaran empuk untuk digigit.
Bicara Isi WhatsApp
Seminggu telah berlalu namun Presiden Jokowi belum merespons apa-apa. Ditunggu berbicara soal sensitif itu di Rapim TNI - Polri, Selasa (1/3), namun Presiden hanya tertarik menyinggung soal isi WhatsApp Group di lingkungan Polri yang menganggunya. Jokowi pun meminta pimpinan TNI dan Polri menertibkan WAG yang membahas soal Ibu Kota Negara baru di Kaltim. Padahal, itu urusan "ecek-ecek " atau ringan saja sebenarnya. Sekelas perbincangan warga WAG di lingkungan RT/RW.
Baca juga:
Tony Rosyid: Siapa Pasangan Ideal Anies?
|
Politisi PKS, Mardali Ali Sera, langsung mengingatkan Presiden, WAG adalah wilayah pribadi setiap warganegara. Masih berkait hak rakyat yang dijamin di dalam pasal 33 UUD 1945.
Selain soal WAG, Jokowi juga menyinggung ancaman Mubaliq yang radikal. Secara khusus dia meminta pimpinan TNI - Polri tidak memberi kesempatan dai dai radikal berceramah di lingkungannya. Teguran itu langsung juga mengundang reaksi para ulama.
Bukan hanya di lingkungan TNI-Polri, menurut mereka, sesuai kontitusi negara, di mana pun tidak boleh ada tempat yang mengakomodasi mubaliq radikal. TVOne semalam mengundang Ketua MUI KH Cholil Nafis dan Ustaz Das'ad Latief, antara lain mengulas itu.
Sayangnya, lagi-lagi yang diutus Ali Mochtar Ngabalin mewakili pemerintah. Selain tak bijak, jejak digital Ngabalin sering merusak substansi diskusi. Ibarat salat, belum " waladdalin", Ngabalin mendahului berseru " aminnn" panjang dan suaranya menggelegar pula merusak speaker.
Ustaz Das'ad Latif meminta pemerintah merumuskan terlebih dahulu definisi dan kriteria apa yang tergolong mubaliq radikal. Mesti dibedakan Mubaliq yang merongrong negara (radikal) dengan mubaliq yang bersikap kritis menyampaikan pesan kebaikan (amal ma'ruf nahi munkar). Jelas, yang terakhir bukan tergolong radikal.
"Saya paling sering dapat undangan tausiyah di lingkungan pejabat TNI - Polri. Tausiyah saya sering diseling kritik sosial, juga terhadap penyimpangan penguasa. Biasa saja. Pengundang dan jemaah umumnya senang.
"Masak begitu radikal? Masak mempertanyakan minyak goreng, tempe, daging yang langka dan mahal, mau dibilang radikal?, " tanya Ustaz kelahiran Sulsel itu yang terkenal dengan ucapan " beleng-beleng"nya.
Peta Media Sosial
Kehendak memperpanjang masa jabatan presiden atau menunda Pemilu 2024 memang harus segera dihentikan.
Ada yang sambil mengusulkan, agar ketiga pentolan Parpol itu sebaliknya dipolisikan saja dengan dugaan percobaan makar terhadap UU 1945.
Namun, disayangkan, Presiden Jokowi justru bicara lain pada momen Rapim TNI - Polri. Presiden hanya menyoal isi WAG di lingkungan TNI - Polri yang mempercakapkan soal IKN. Alasan Jokowi melarang, karena IKN sudah menjadi keputusan pemerintah dan parlemen sudah mengeluarkan UU IKN. Padahal, kalau disimak cermat, konstitusi yang mengunci perpanjangan jabatan presiden maupun penundaan Pemilu 2024 lebih tinggi derajatnya dibandingkan UU IKN.
Presiden mungkin juga belum "ngeh", tiga pembantunya yang menghendaki penundaan Pemilu 2024, terang benderang memanipulasi suara rakyat. Muhaimin Iskandar misalnya. Secara eksplisit, dia yang menyebutkan 60 ?ri 100 juta pengguna twiter di Tanah Air mendukung perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi. Data itu langsung dipatahkan oleh pakar IT Ismail Fahmi karena tidak valid. Pengusaha Drone Emprit tersebut menyebutkan pengguna akun twiter di Tanah Air hanya 18 juta
Baca juga:
Tony Rosyid: Semua Sepakat Pemilu 2024
|
" Sedangkan total jumlah netizen yang ikut aktif dalam percakapan wacana perpanjangan masa jabatan ini tidak sampai 10 ribu akun. Dan, mayoritas menolak, " terang Ismail ketika saya hubungi Rabu (2/3) pagi.
Ismail juga mengirimi saya peta percakapan netizen di twiter yang menggambarkan keadaan itu. Mengamati kegaduhan seminggu ini, rasanya demokrasi Indonesia memang tengah terancam, membutuhkan pertolongan kita semua mempertahankannya secara at all cost.
Jakarta, 2 Februari 2022
Ilham Bintang
Jurnalis Senior Indonesia