OPINI - Pemilu 2014, PDIP adalah jawara di Jakarta. PDIP meraih 28 kursi DPRD DKI. Dengan 28 kursi, PDIP bisa usung sendiri pasangan cagub-cawagub. Pilgub 2017, PDIP usung Ahoh-Djarot. Sayangnya, pasangan ini dikalahkan Anies-Sandi.
Anies-Sandi memimpin ibu kota kala itu. PDIP mengambil pilihan oposisi. Tidak hanya kritis, tapi keras kepada Anies-Sandi. Terutama kepada Anies pasca Sandi mundur dari wagub DKI karena alasan jadi cawapres Prabowo di pilpres 2019.
Baca juga:
Tony Rosyid: Anies Menguat, Semua Merapat
|
Tiada hari tanpa serangan kepada Anies. Ini strategi yang dipakai PDIP untuk down grade Anies. Tujuannya? Anies gagal memimpin Ibu Kota dan terganjal untuk nyapres 2024.
Menghadapi berbagai manuver PDIP, Anies cukup kerepotan dalam merealisasikan program-programnya di DKI. Mulai balap mobil Formula E, pembangunan Jakarta International Stadium (JIS), hingga upaya menjual saham bir. Puncaknya, PDIP menginisiasi impeachment kepada Anies. Namun, upaya ini gagal.
Baca juga:
Tony Rosyid: Anies untuk Semua
|
Apa hasil dari strategi agresif PDIP menyerang Anies? Anies tetap maju di pilpres 2024, dan PDIP kehilangan tiga kursi DPRD DKI di pemilu 2019. Dari 28 kursi menjadi 25 kursi. Di pemilu 2024, PDIP kehilangan lagi 10 kursi di DKI. Dari 25 kursi menjadi 15 kursi. Karena itu, PDIP sadar, ini strategi yang keliru. Karena itu, PDIP merasa perlu untuk mengubah strategi.
Posisi PDIP di DKI saat ini kurang menguntungkan. Dengan 15 kursi di DPRD Jakarta, PDIP tidak bisa mengusung paslon sendiri. Harus berkoalisi. Di sini PDIP kesulitan untuk mencari partner koalisi. PPP yang notabene mitra koalisi PDIP di pilpres pebruari 2024 kemarin, hanya mendapatkan satu kursi di Jakarta. Mau koalisi dengan partai-partai pendukung Prabowo? Hampir tidak mungkin. Kenapa? Parpol koalisi pendukung Prabowo masih berada di genggaman Jokowi. Sementara, hubungan PDIP dengan Jokowi sedang berada di titik terburuk.
Pintu yang paling memungkinkan adalah bergabung dengan koalisinya partai-partai pengusung Anies Baswedan.
Faktor Anies juga menarik bagi PDIP. Anies incumbent dengan performence kerja dan prestasi yang cukup bagus di mata publik. Sehingga, elektabilitas Anies saat ini tertinggi, jauh melampaui kandidat-kandidat lainnya. Bagi PDIP, nampaknya pilihan ke Anies adalah yang paling menjanjikan untuk menang.
Selain itu, Anies populer sebagai tokoh oposisi. Dianggap kontra Jokowi. Di sinilah PDIP merasa mendapatkan persenyawaan ketika mengusung Anies di pilgub Jakarta.
PDIP tidak punya masalah dengan Prabowo. Begitu juga Anies, tidak ada masalah dengan calon presiden yang akan dilantik oktober nanti. PDIP hanya punya masalah dengan Jokowi, kader yang dibesarkannya sejak dari walikota Solo.
Bukankah kekuasaan Jokowi akan berakhir oktober nanti? Meski oktober Jokowi pensiun, tidak berarti kekuasaan Jokowi sepenuhnya akan seketika hilang. Jokowi masih punya Gibran yang menjabat sebagai wapres. Juga punya sejumlah loyalisnya yang berada di lingkaran Prabowo. Artinya, Jokowi masih bisa "cawe-cawe" di politik. Baik Jakarta, maupun nasional. Sampai Prabowo benar-benar akan membersihkan pengaruh Jokowi dari dirinya, dengan menyingkirkan orang-orang Jokowi secara bertahap. Lalu, persempit ruang wapres sebagaimana Jokowi pernah melakukannya terjadap Jusuf Kalla (2014-2019) dan Ma'ruf Amin (2019-2024).
Adanya sisa-sisa kekuasaan Jokowi ini sepertinya menjadi penambah faktor kenapa PDIP ingin mengusung Anies Baswedan di pilgub Jakarta.
Jakarta, 7 Juni 2024
Tony Rosyid*
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa